Kegiatan dan tindakan serta diagnosis yang ada dalam rekam medis harus di beri kode dan selanjutnya diindeks agar memudahkan pelayanan pada penyajian informasi untuk menunjang fungsi perencanaan, managemen dan riset bidang kesehatan.
Pemberian kode ini merupakan kegiatan klasifikasi penyakit dan tindakan yang mengelompokkan penyakit dan tindakan bedasarkan kriteria tertentu yang telah disepakati.
Pengkladifikasian penyakit dan tindakan yang telah disepakati secara internasional dan telah digunakan yaitu :
1. Klasifikasi yang berkaitan dengan penyakit / diagnosis, yaitu ICD (International
Classification of Diseases)
Yaitu suatu kumpulan atau klasifikais penyakit berdasarkan kriteria tertentu dan telah diberi kode.
Sampai saat ini ICD telah direvisi sampai yang terakhir, tahun 1994 dan diterbitkan oleh WHO
yaitu ICD X
ICD - X terdiri dari 3 volume, yaitu :
a. Volume satu, berisi tentang hal - hal yang mendukung klasifikasi utama
b. Volume dua, berisi tentang pedoman penggunaan
c. Volume tiga, berisi tentang klasifikasi penyakit yang disusun berdasarkan indek abjad (glossory
atau secara alphabet.
Dengan diresmikannya standar klasifikasi diagnostik international oleh WHO pada tahun 1994
yang dilanjutkan dengan diterbitkannya 3 jilid buku klasifikasi tentang penyakit dan masalah yang
berhubungan dengan kesehatan (ICD-10) pada tahun 1996, Indonesia sebagai anggota WHO
melalui Departemen Kesehatan telah mewajibkan instansi pelayanan kesehatan untuk menerapkan
standar klasifikasi ICD - 10.
Kewajiban ini diikat dengan keberadaannya 2 (dua) buah surat keputusan (SK) yang dikeluarkan
oleh Dir. Jen. Pelayanan Medik No. HK.00.05.1.4.00744 tentang penggunaan ICD-10 di RS yang
ditetapkan tanggal 19 februari 1996, dan diberlakukannya SK Menteri Kesehatan RI no.
50/MENKES/SK/I/1998, tentang Pemberlakuan Klasifikasi Statistik International mengenai
penyakit revisi ke sepuluh yang ditetapkan pada tanggal 13 januari 1998.
Sebagai tindaklanjut terbitnya SK tersebut diatas, Dit. Jen. Pelayanan Medik elah menggelar
pelatihan ICD 10 kepada berbagai rumah sakit di Indonesia. Demikian juga Dit. Jen. Pembinaan
Kesehatan Masyarakat telah menerbitkan buku pedoman Penyusunan Laporan Puskesmas tentang
Morbiditas (LB-1) berdasarkan Daftar Tabulasi Morbiditas ICD-10 dan Gejala Penyaki (Dep. Kes
1998).
Meskipun Departemen Kesehatan telah melaksanakan berbagai pelatihan dan mengeluarkan
pedoman namun dalam kenyataannya masih banyak tenaga pembuat ode klasifikasi yang telah
berganti pekerjaan baik, baik karena dimutasi ataupun pensiun. Oleh karena itu kaderisasi tenaga
kode pada setiap instansi pelayanan kesehatan harus senantiasa dipersiapkan.
Klasifikasi yang diterbitkan oleh WHO harus mampu mengikuti perkembangan jaman, oleh
karena itu WHO-FIC membentuk komite yang dinamakan Update Reference Committee (URC)
pada tahun 1999 yang bertugas untuk memutahirkan dan merevisi klasifikasi yang digunakan.
Sejauh ini WHO telah 10 kali memperbaiki ICD-10 pada setiap tahunnya dari tahun 1996 hingga
2005. Hingga Januari 2006 himpunan koreksi ICD-10 (cummulative update) mencapai 263
halaman (1.27MB) dan sejak tahun 2004 telah dikeluarkan edisi ICD-10 edisi ke-2 yang terdiri dari
22 bab (ICD-10 edisi 1 hanya memiliki 21 bab).
Sesuai dengan kesepakatan WHO sejak semula, setiap 10 tahun sekali WHO akan mencetak
ICD baru dan pada saat ini sambil menunggu terbitnya ICD-11 yang sekarang tengah dibahas oleh
WHO di Jenawa, himpunan koreksi ICD-10 (cummulative update) di atas yang sebagian besar
telah dimuat dalam ICD-10 edisi ke-2 dapat digunakan oleh seluruh negara anggota WHO dalam
melengkapi kekurangan klasifikasi ICD-10 edisi 1. Oleh karena itu adalah menjadi tugas pengajar
kode klasifikasi ICD-10 (terutama di APIKES), pejabat Dep. Kesehatan RI, tenaga kesehatan,
pihak kesehatan di asuransi atau peneliti yang terkait dengan klasifikasi morbiditas / mortalitas
untuk mengetahui isi perbaikan ICD-10 edisi ke-2 tersebut.
Dari ICD ini dilakukan penyesuaian atau pengklasifikasian penyakit yang lebih rinci sesuai
dengan kategorinya, diantaranya yaitu :
a. Oncology atau International Classification od Diseases for Oncology (ICD-O), dibuat WHO
tahun 1990, digunakan untuk mencatat dan memantau kasus kanker
b. Dermatollogi (International Coding Index fir Dermatology), dibuat pada tahun 1978 dan
digunakan untuk memudahkan pengelompokan dan analisa terhadap penyakit kulit
c. Gigi dan Mulut (International Classification of Diseases to Dentistry and Stomatology / ICD
DA), digunakan untuk mencatat dan menganalisa penyakit pada rongga mulur dan organ
sekitarnya
d. Neurologi, pengelompokan ini dimaksudkan agar penyakit saraf dapat dikelompokan secara
rinci dala 5 kelompok besar. Pengelompokan ini sedang dalam pembuatan
e. Reumatologi dan artopedi, pengelompokan untuk penyakit rheumatik dan patah tulang atau
International Classification of Diseases to Rheumatology and Orthopaedics (ICD-R&O)
termasuk di dalamnya pengelompokan untuk penyakit otot dan tulang International of Musculo
Sceletal Disorder (ICMSD) digunakan untuk memudahkan bagi penyakit tersebut,
pengelompokan juga dibagi dalam kelompok peradangan atau pembengkakan
f. Pediatri, kelompok ini adalah bagi penyakit pada anak yang diusahakan ditambah pada digit ke
lima sub kategori
g. Gangguan Jiwa (Mental and Behaviouoral Disorder), pengelompokan penyakit gangguan jiwa
dilakukan secara detail mengingat banyak faktor yang mempengaruhi seseorang untuk dapat
menderita penyakit tersebut.
2. Klasifikasi yang tidak berkaitan dengan Diagnosa
Untuk masalah yang tidak berkaitan dengan diagnosa suatu penyakit dibuat suatu klasifikasi
tersendiri yaitu sebagai berikut :
a. International Classification of Procedure In Medicine (ICPM), ini merupakan buku pedoman
untuk melihat penanganan yang telah dilakukan terhadap seorang penderita yang meliputi semua
prosedure penegakan diagnosa, pencegahan penyakit, pengobatan, pemeriksaan rontgen,
pemberian obat - obatan, pembedahan dan pemeriksaan laboratorium. Termasuk disini adalah
penangan terhadap penyakit menular dan yang terbaru adalah International Classification of
Helath Intervention (ICHI). ICHI merupakan kode operasi yang dipekenalkan tahun 2005
sebagai pengganti International Classification of Procedures in Medicine (ICPM terbit tahun
1978, di Indonesia dikenal sebagai ICOPIM).
b. International Classification of Impairments, Disabilities and Hendicaps (ICIDH) merupakan
pengelompokan atau klasifikasi untuk mencatat dan menganalisa kelemahan atau impairment
dengan kelemahan kode "I", menggambarkan perubahan fungsi secara fisik atau fisiologis dari
anggota tubuh.
Dissabilities atau kehilangan fungsi, dengan kode "D" menggambarkan gangguan anggota tubuh
perorangan. Untuk setiap orang gangguan yang sama belum tentu berakibat sama. Sedangkan
Hendicaps atau ketidak mampuan, dengan kode "H" adalah ketidak mampuan seseorang bila
ditinjau baik dari kacamata kelompok dimana orang tersebut berada. Ketidak mampuan adalah
kesenjangan antara apa kecapatan dan ketepatan koding dari suatu diagnosis atau tindakan lain
sangat tergantung kepda pelaksana yang menangani rekam medis tersebut, yaitu :
1. Tenaga medis dalam menetapkan diagnosis
2. Tenaga rekam medis sebagai pemberi kode
3. Tenaga kesehatan lainnya
Tujuan dan kegunaan klasifikasi penyakit secara international (ICD X) adalah :
1. Agar dapat dibuat catatan yang sistematis, analisis, menerjemahkan dan membandingkan
peristiwa penyakit dan kematian yang telah dikumpulkan di berbagai tempat dan negara pada
saat yang bersamaan
2. ICD digunakan untuk menerjamahkan diagnosis penyakit dan masalah kesehatan dari kata
menjadi kode atau sandi alfa numerik, sehingga memudahkan untuk disimpan, dicari dan
dianalisis kemudian
3. Dalam praktek ICD X enajdi klasifikasi diagnostik standar international untuk mencatat
keperluan epidemiologi dan berbagai masalah upaya kesehatan
4. Untuk memudahkan analisis keadaan kesehatan dari suatu kelompok penduduk
5. Untuk memantau insedens (kasus baru) dan prevalensi (semua kasus) penyakit dan masalah
kesehatan lain dalam hubungannya dengan beberapa variabel seperti ciri dan keadaan dari orang
yang terkena.
Jadi secara garis besar ICD dimaksudkan untuk memudahkan pencatatan dan pelaporan
penyakit, dari segala macam segi, sehingga tidak ada satu penyakitpun yang luput dari
pemantauan.
ICD - 10
Sejauh ini pengaplikasian atau penerapan ICD-10 telah diwajibkan kepada puskesmas maupun rumah sakit (RS) di indonesia. Umumnya pelaksanaan pemberi kode (kodefikasi) di RS dikerjakan oleh 'prkatisi rekam medis' (dalam paradigma baru disebut praktisi manajemen informasi kesehatan). Dalam prakteknya, aplikasi ICD-10 masih mengalami beberapa hambatan. Hal yang menonjol yaitu masih kurangnya sosialisasi tentang ICD -10 dikalangan tenaga kesehatan sehingga tidak sedikit tenaga kesehatan yang belum mengenal apa itu ICD-10. Oleh karena itu ICD-10 masih perlu disosialisasikan secara kontinyu.
1. Pengenalan tentang ICD-10
a. Definisi ICD
ICD merupakan singkatan dari International Statistical Classification of Diseases and Related
Health Problems. ICD memuat klasifikasi diagnostik penyakit dengan standar international yang
disusun berdasarkan sistem kategori dan dikelompokkan dalam satuan penyakit menurut kriteria
yang telah disepakati pakar internasional.
b. Tujuan dan Kegunaan ICD
Tujuan klasifikais ini adalah unuk membuat catatan menjadi sistemik, membantu penganalisisan,
menerjamahkan dan membandingkan peristiwa penyakit dan kematian yang telah dikumpulkan
di berbagai tempat, negara pada saat yang berlainan.
Kegunaan ICD-10 yang menonjol adalah sebagai sarana penterjemah diagnosis penyakit dan
masalah kesehatan dari bentuk kata menjadi kode atau sandi alfanumerik sehingga memudahkan
untuk disimpan, dicari dan kemudian dianalisis.
Keunggulan ICD-10 sebagai klasifikasi diagnostik standar internasional dibandingkan yang
terdahulu :
- Memberi ruang gerak bagi kepentingan epidemiologi dan berbagai masalah upaya kesehatan
- Menganalisis keadaan kesehatan suatu kelompok penduduk
- Memantau kasus baru (insiden) dan semua kasus (prevalensi) penyakit dan masalah kesehatan
lain dalam hubungannya dengan beberapa variabel seperti ciri dan keadaan dari orang yang
terkena.
2. Struktur buku ICD-10
- Volume 1 merupakan himpunan klasifikasi itu sendiri yang disebut Tabular List. Di dalam
volume 1 diagnosis dikategorikan dalam kelompok kategori sehingga memudahkan dalam
pemilihannya (subkategori) dan perhitungan statistik
- Volume 2 merupakan manual atau pedoman tentang cara menggunakan volume 1 dan 3
- Volume 3 disebut Alphabetical Index (index abjad) yang berfungsi sebagai 'kamus'-nya volume 1.
Dalam volume 3 ini terdapat 3 seksi. Seksi 1 merupakan 'kamus' klasifikasi diagnosis yang
tertera dalam vol. 1 kecuali untuk obat - obatan dan zat kimia; seksi 2 sebagai 'kamus' untuk
mencari penyebab luar morbiditas, mortalitas dan memuat istilah dari bab 20, kecuali untuk obat
- obatan dan zat kimia; seksi 3 merupakan tabel obat - obatan dan zat kimia sebagai sambungan
dari bab 19,20 dan menjelaskan indikasi kejadiannya.
Pada saat ICD-10 terbit tahun 1996, volume 1 terdiri dari 21 bab. Namun dengan adanya sidang
koreksi UCR, tepatnya mulai bulan oktober 2003, ICD-10 ditetapkan menjadi 22 bab, yakni
dengan ditetapkannya kode U (U00-U99) untuk kegunaan khusus (codes for special purpose)
(misalnya U04.9 untuk SARS). Tahun 2004 terbit ICD-10 edisi ke-2 yang menambah 1 bab baru
yaitu bab 22 sebagai berikut :
I Certain infectious and parasitic diseases
II Neoplasms
III Diseases of the blood and blood-forming organs and certain disorders involving the immune
mechanism
IV Endocrine, nutritional and metabolic diseases
V Mental and behavioural disorder
VI Diseases of the nervous system
VII Diseases of the eye and adnex
VIII Diseases of the ear and mastoid process
IX Diseases of the circulatory system
X Diseases of the respiratory system
XI Diseases of the digestive system
XII Diseases of the skin and subcutaneous tissue
XIII Diseases of the musculoskeletal system and connective tissue
XIV Diseases of the genitourinary system
XV Pregnancy, childbirth and the puerperium
XVI Certain conditions originating in the perinatal period
XVII Congenital malformations, deformations and chromosomal abnormalities
XVIII Symptoms, signs and abnormal clinical and laboratory findings, not elsewhwre classified
XIX Injury, poisoning and certainother consequences of external causes
XX External causes of morbidity and mortality
XXI Factors influencing health status and contact with health services
XXII Codes for special purposes (BARU)
3. Hal penting yang terdapat dalam ICD-10
ICD-10 memuat peraturan dan pedoman penetapan kode untuk mortalitas dan morbiditas yang
harus diketahui praktisi kesehatan dan terutama praktisi kode :
- Pedoman tentang pengisian sertifikat kematian dan peraturan penetapan kode (rules antecedent
cause 1,2,3 dan 32 examples); (modification rules A,B,C,D,E,F dan examples 33-69)
- Catatan untuk digunakan dalam underlying cause mortality coding
- Ringkasan keterkaitan nomor kode dan ringkasan kode yang tidak digunakan dalam underlying
coding
- Tata cara dalam mengintrepretasikan masukan (entry) penyebab kematian (vol. 2 : 4.2.1 - 4.2.13)
- Penanganan kode dan pelaporan kematian perinatal berupa pedoman pengisian sertifikat
kematian perinatal dan peraturan penetapan kode (rules P 1,2,3,4)
- Peraturan tentang penetapan kode morbiditas (rules MB 1-5)
4. Tendon ICD-10
WHO telah memberikan pelatihan ICD-10 dengan perangkat lunak yang dinamakan Tendon.
Melalui Tendon, prktisi kode dapat belajar tentang prinsip ICD-10. tendon juga dilengkapi dengan
atlas anatomi sederhana sehingga membantu praktisi kode dalam ketepatan pemberian kode.
Meskipun demikian, pelatihan kode tetap harus didampingi oleh instruktur ang mahir dan mutahir.
Selain itu berbagai pembuat perangkat lunak (software house) terutama di AS banyak membuat
produk perangkat lunak untuk memudahkan pekerjaan praktisi kode. Perangkat lunak yang
ditawarkan oleh pihak pembuat perangkat lunak di AS masih mengacu pada ICD-9 CM dan sistem
kode lainnya yang khas untuk kepentingan AS. Dengan terbitnya ICD-9 CM dengan sendirinya
secara berangsur penggunaan ICD-9 CM akan ditinggalkan.
5. Publikasi ICD-10 versi terakhir
Sejauh ini ICD-10 telah menerbitkan buku edisi ke-2 dan CD-ROM serta ICD-10 edisi 2 dalam
versi yang dapat di-download melalui situs WHO.
Keilmuan yang harus dimiliki prkatisi kode di Indonesia
Persyaratan ilmu yang harus dipelajari untuk menjadi praktisi kode yang baik mencakup keilmuan dasar tentang :
a. Anatomi dan fisiologi
b. Terminologi medis
c. Pathophisiologi dan pharmakologi
d. Mengerti bahasa inggris
e. Bekali dengan atlas anatomi dan berbagai buku tentang ilmu kesehatan
Himbauan kepada Sarana Pelayanan Kesehatan (Hatta, 2006)
1. Diagnosis akhir harus segera ditegakkan saat pasien pulang dan ditulis dalam rekam medis / rekam
kesehatan (RM / K). Yakni setelah dokter utama memeriksan seluruh data / informasi yang ada
dalam RM / K, terasuk hasil laboratorium dan penunjang lainnya.
2. Diagnosis akhir ditetapkan oleh dokter utama yang merawat pasien dan dicantumkannya dalam
ringkasan riwayat pulang (resume) dan ringkasan masuk dan keluar (halaman pertama rekam
medis).
3. Parktisi kode mmeberi kode ICD-10 sesuai dengan diagnosis morbiditas yang ditetapkan dokter.
Untuk kode operasi / tindakan gunakan standar WHO yaitu dari buku ICOPIM atau kode dari buku
ICHI (mulai 2005) (International Classification of Health Intervention).
4. Informasi untuk penagihan asuransi harus berdasarkan kode diagnosis akhir (final diagnose) seperti
yang dicantumkan dalam ringkasan masuk dan keluar (halaman pertama rekam medis). Jangan
memberikan diagnosis ke pihak asuransi saat pasien masih dalam perawatan karena diagnosis
seperti itu masih cenderung bersifat diagnosis sementara (diagnosis kerja) dan bukan diagnosis
akhir.
5. Praktisi kode harus ditingkatkan kualitasnya secara kontinyu mengingat kemahiran tidak datang
secara mendadak
6. Praktisi kode yang sudah mahir sebaiknya jangan dipindahkan sehingga dirinya akan menjadi ahli
kode. Bila praktisi kode harus pindah, harus meninggalkan koder pengganti yang handal
7. Fakultas kedokteran sudah saatnya memberikan perkuliahan tentang standar klasifikasi yang
digunakan, khususnya ICD-10 (pada saat ini).
8. APIKES harus lebih meningkatkan mutu pengajaran klasifikasi, baik dari sisi pengajar dan
persyaratan mahasiswanya.
9. Instansi pelayanan kesehtaan sedah harus meningkatkan kualitas praktisi kode. Dapat dibuat
pelatihan dalam instansi (in-house training) dengan memanggil pihak-pihak yang mempunyai
keterampilan dalam mengajar ICD, seperti a.l. organisasi profesi (PORMIKI).
Sumber : Akasah, Modul : Pengelolaan Sistem Rekam medis II, Politeknik Piksi Ganesha Bandung, 2008, Bandung
Oke, sekian postingan mengenai pengelolaan data medis (koding), semoga bermanfaat untuk semuanya. jika ada yang ingin ditanyakan bisa di komen saja ya, sampai nanti pada postingan selanjutnya. Terimakasih telah berkunjung ke Blog saya. :-D
Tidak ada komentar:
Posting Komentar